Sabtu, 23 Mei 2009

OPTIMASI PENAMBAHAN KONSENTRASI KULTUR CAIR CAMPURAN (Streptococcus sp., Lactococcus sp. DAN Leuconostoc sp.) TERHADAP SIFAT KIMIA DAN MIKROBIOLOGI RU

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Rusip merupakan produk fermentasi ikan yang dibuat dengan penambahan garam antara 20-30% dan penambahan gula aren sekitar 10%, kemudian difermentasi selama kurang lebih dua minggu secara anaerob. Umumnya, ikan yang dijadikan bahan baku pembuatan rusip adalah ikan rucah yang berukuran kecil dan salah satunya adalah ikan teri (Stolephorus sp) (Koesoemawardani, 2007). Rusip dapat dikonsumsi secara langsung ataupun dengan penambahan bumbu-bumbu tertentu untuk meningkatkan daya terimanya, seperti irisan bawang merah, rampai, cabai, dan perasan jeruk kunci (Dessi, 1999). Ada beberapa keuntungan mengkonsumsi produk fermentasi terutama rusip antara lain aroma dan rasa yang khas, produk mudah dicerna, dan terdapat senyawa antimikroba.

Selama ini proses pengolahan rusip masih dilakukan secara tradisional dan sifatnya spontan tanpa penambahan inokulum murni. Produk fermentasi secara spontan memiliki beberapa kekurangan yakni mutu tidak stabil, tidak seragam, mutunya sangat rendah dan dapat membahayakan konsumen serta timbulnya aroma yang menyimpang (off flavour). Pada proses fermentasi secara spontan, jenis mikroba yang tumbuh sangat banyak, dan sulit dikontrol. Populasi awal bakteri asam laktat yang rendah menyebabkan bakteri pembusuk dan penghasil histamin serta bakteri patogen tumbuh cepat mendahului pertumbuhan bakteri asam laktat. Selain itu, tingginya jumlah mikroba yang tidak diinginkan berpengaruh terhadap peningkatan kadar TVN yang disebabkan pemecahan senyawa nitrogen oleh mikroba seperti urea dan asam amino menjadi komponen yang mudah menguap. Menurut Koesoemawardani (2007), kadar total volatil nitrogen (TVN) produk Rusip Bangka masih relatif tinggi dan masih terdapat kapang.

Kurniati (2006) menyebutkan bahwa terdapat 3 isolat bakteri asam laktat hasil isolasi dan identifikasi dari produk rusip yaitu Streptococcus, Lactococcus dan Leuconostoc. Selama fermentasi genus Streptococcus lebih ditemukan pada awal fermentasi, sedangkan Lactococcus berperan pada pertengahan fermentasi dan Leuconostoc berperan pada akhir fermentasi. Perbedaan waktu fermentasi ini dikarenakan pertumbuhan bakteri sesuai dengan kondisi lingkungan optimum yang mendukung pertumbuhannya. Sementara itu, Nurulita (2006) telah mengaplikasikan Leuconostoc pada rusip dan hasilnya sifat kimia dan mikrobiologi yang lebih baik dibandingkan dengan rusip secara spontan. Hal ini disebabkan proses fermentasi lebih terkontrol dengan adanya penambahan kultur cair bakteri asam laktat.

Akan tetapi, berdasarkan penelitian Nurulita (2006) ternyata rusip yang dihasilkan masih terdapat kapang dan nilai total volatil nitrogennya masih cukup tinggi. Sementara itu, SNI mensyaratkan bahwa produk fermentasi harus tidak terdapat kapang. Dengan demikian perlu dilakukan penanganan rusip dengan cara mengontrol proses fermentasi menggunakan kultur campuran bakteri asam laktat sehingga bakteri asam laktat dapat mendominasi di awal proses dibandingkan mikroba patogen dan pembusuk. Pada proses fermentasi, aplikasi penambahan kultur dapat menggunakan kultur tunggal dan campuran. Menurut Hidayat (2007), penggunaan kultur tunggal umumnya mempunyai resiko yang tinggi karena kondisi harus optimum sehingga untuk mengurangi kegagalan dapat digunakan biakan campuran.

Sementara itu, Tauhid (2009) telah melakukan penelitian terhadap rusip dengan penambahan kultur campuran bakteri genus Steptococcus, Lactococcus dan Leuconostoc dengan konsentrasi 2% yang dibandingkan dengan rusip yang difermentasi secara spontan. Hasilnya menunjukkan bahwa rusip yang ditambahkan kultur campuran memiliki kondisi mikrobiologi dan karakterisasi lebih baik jika dibandingkan dengan rusip spontan.

Berdasarkan informasi di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan konsentrasi terbaik dari penambahan kultur cair campuran bakteri genus Steptococcus, Lactococcus dan Leuconostoc dengan sifat kimia dan mikrobiologi yang lebih baik, sehingga dapat memperbaiki kualitas rusip yang aman dan bermutu tinggi.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi penambahan kultur cair campuran Streptococcus, Lactobacillus, dan Leuconostoc yang optimal untuk menghasilkan rusip dengan karakteristik kimia dan kondisi mikrobiologi terbaik.

C. Kerangka Pemikiran

Fermentasi adalah proses pemecahan karbohidrat dan protein secara anaerobik yaitu tanpa membutuhkan oksigen (Fardiaz et al., 1992), sedangkan menurut Buckle et al. (1987), fermentasi adalah proses perubahan kimia dalam bahan pangan yang disebabkan oleh kerja enzim. Enzim yang berperan dapat dihasilkan oleh jasad renik atau yang telah ada dalam bahan pangan itu sendiri. Sementara itu, Bailey dan Ollis (1987) menyatakan bahwa fermentasi adalah semua proses yang melibatkan mikroorganisme untuk menghasilkan suatu produk yang disebut metabolit primer dan sekunder dalam suatu lingkungan yang terkontrol.

Fermentasi dapat dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan sumber mikroba yang berperan dalam fermentasi, yaitu fermentasi spontan dan fermentasi tidak spontan. Fermentasi spontan adalah fermentasi makanan yang dalam pembuatannya tidak ditambahkan mikroba dalam bentuk starter tetapi mikroba yang berperan aktif dalam proses fermentasi berkembang biak secara spontan karena lingkungan hidupnya dibuat sesuai dengan pertumbuhannya. Fermentasi makanan tidak spontan terjadi bila dalam pembuatannya ditambahkan mikroba dalam bentuk kultur atau starter sehingga mikroba tersebut akan berkembangbiak dan aktif mengubah bahan yang difermentasi menjadi produk yang diinginkan. Pada fermentasi secara spontan biasanya jumlah mikroba yang ikut berperan beraneka ragam sehingga proses fermentasinya tidak terkontrol dan memberi kemungkinan tumbuhnya mikroba yang tidak diinginkan bersifat toksik dan dapat menyebabkan keracunan pangan. Oleh karena itu, fermentasi secara spontan dapat menghasilkan mutu yang tidak stabil, sering timbul off flavor, bahkan mutunya sangat rendah dan membahayakan konsumen.

Pada fermentasi ikan, proses yang terjadi adalah penguraian secara biologis atau semi biologis terhadap senyawa komplek terutama protein. Selama proses fermentasi, protein ikan akan terhidrolisis menjadi asam-asam amino dan peptida, kemudian asam-asam amino akan terurai lebih lanjut menjadi komponen-komponen lain yang berperan dalam pembentukan cita rasa produk (Rahayu et.al., 1992). Setelah ikan mati, mikroba-mikroba yang terdapat secara alamiah pada ikan khususnya bakteri akan tumbuh cepat sehingga ikan mengalami penurunan mutu. Selama stadium awal fermentasi pada ikan terdapat sejumlah mikroba yang tidak diinginkan, sebagian besar merupakan bakteri gram negatif yang bersifat proteolitik terutama Pseudomonas, Flavobacterium dan Achromobacter-Alcaligenes. Sementara itu, sisanya adalah bakteri gram positif terdiri dari Micrococcus, Corynabacterium, Vibrio, Bacillus, Sarcina, Lactobacillus dan Mycobacterium (Fardiaz et al., 1992). Bakteri-bakteri ini merupakan bakteri yang berperan dalam kebusukan ikan sehingga setelah ikan mati, mikroba-mikroba yang terdapat secara alamiah pada ikan akan tumbuh cepat dan ikan akan cepat mengalami penurunan mutu. Oleh karena itu, apabila selama stadium awal fermentasi ikan tidak berjalan normal, maka mikroba yang tidak diinginkan tersebut kemungkinan akan mendominasi dan menyebabkan pembusukan, tetapi bila berjalan normal, bakteri asam laktat yang bersifat fermentatif akan mendominasi.

Fardiaz (1989) menyatakan bahwa jumlah sel mikroba awal akan mempercepat fase adaptasi dan selama proses fermentasi akan terjadi peningkatan jumlah total mikroba. Keberhasilan suatu pengawetan ikan dengan fermentasi tergantung dari jumlah asam laktat yang dihasilkan, karena total asam yang dihasilkan penting untuk mencegah pembusukan, bila asam yang terbentuk terlalu lama, maka akan tumbuh bakteri pembusuk (Stanton dan Yeoh, 1978; Jay, 2000). Owens dan Mendoza (1985) menyatakan bahwa pertumbuhan bakteri asam laktat dan kecepatan penurunan pH dipengaruhi oleh jumlah awal bakteri asam laktat dan mikroba pesaingnya, suhu fermentasi, konsentrasi garam dan kapasitas buffer substrat. Sementara itu, Jay (2000) menyatakan bahwa proses fermentasi produk pangan dipengaruhi oleh jenis, jumlah, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba yaitu faktor intrinsik (suplai zat gizi, waktu, aktivitas air, nilai pH, potensial redoks, senyawa antimikroba, dan sistem laktoperoksidase), faktor ekstrinsik (suhu, ketersediaan oksigen, dan aktivitas mikroba lain), dan kombinasi antara faktor intrinsik dan ekstrinsik.

Penambahan kultur bertujuan untuk mendapatkan produk dengan mutu, kosistensi dan masa simpan yang baik, meningkatkan keamanan dan mempersingkat waktu fermentasi karena mikroba fermentatif telah mendominasi pada awal proses (Anonim, 2003a). Penambahan kultur bakteri asam laktat yang tinggi akan menghasilkan laju produksi asam yang cepat (Kurniati,2006). Hal ini, karena keadaan yang semakin asam akan membantu menyeleksi jumlah dan jenis mikroba yang terdapat pada produk ikan fermentasi. Jumlah awal bakteri asam laktat yang tinggi menyebabkan gula sederhana yang tersedia dapat dirombak menjadi asam laktat (Ridwansyah, 1991). Bila asam yang dihasilkan oleh mikroba fermentatif cukup tinggi, maka pertumbuhan mikroba proteolitik dan lipolitik dapat dihambat (Winarno et al., 1980). Kurniati (2006) menyebutkan bahwa terdapat 3 isolat bakteri asam laktat hasil isolasi dan identifikasi pada rusip yaitu Streptococcus, Lactococcus dan Leuconostoc. Genus Streptococcus lebih ditemukan pada awal fermentasi, sedangkan Lactococcus berperan pada pertengahan fermentasi dan Leuconostoc pada akhir fermentasi. Perbedaan waktu fermentasi ini dikarenakan pertumbuhan bakteri sesuai dengan kondisi lingkungan optimum yang mendukung.

Nurulita (2006) melaporkan aplikasi penambahan kultur cair Leuconostoc pada rusip menghasilkan sifat kimia dan mirobiologi yang lebih baik dibandingkan rusip secara spontan, tetapi nilai kapang dan total volatil nitrogenya masih cukup tinggi. Menurut Hidayat (2007), penggunaan kultur tunggal umumnya mempunyai resiko yang tinggi karena kondisi harus optimum sehingga untuk mengurangi kegagalan dapat digunakan biakan campuran. Keuntungan biakan campuran adalah mengurangi resiko apabila mikrobia yang lain tidak aktif melakukan fermentasi, seperti dalam pembuatan bekasem ikan teri yang difermentasi dengan penambahan kultur bakteri asam laktat dapat menghambat mikroorganisme patogen yang ada pada bahan fermentasi mentah (Soetrisno dan Apriantono, 2005), sauerkraut yang difermentasi dengan kultur campuran dari Leuconostoc mesenteroides dan Lactobacillus platarum dapat menghambat Pseudomonas aeroginosa dan Staphylococcus aureus yang merupakan bakteri patogen (Suryani (2001), minuman sari kulit nanas yang difermentasi dengan starter campuran Lactobacillus bulgaricus dan Steptococcus thermophillus memiliki aktivitas antimikroba yang tinggi untuk menghambat Staphylococus aureus sebanyak 80,55% dan Pseudomonas aureginosa 93,18% (Purba, 2003).

Tauhid (2009) telah melakukan penelitian terhadap rusip dengan penambahan kultur campuran bakteri genus Steptococcus, Lactococcus dan Leuconostoc dengan konsentrasi 2% yang dibandingkan rusip yang difermentasi secara spontan. Hasilnya menunjukkan bahwa rusip yang ditambahkan kultur campuran memiliki kondisi mikrobiologi dan karakterisasi lebih baik jika dibandingkan dengan rusip spontan. Namun pada penelitian tersebut belum ditentukan konsentrasi terbaik penambahan kultur cair campurannya.

D. Hipotesis

Terdapat konsentrasi penambahan kultur cair campuran yang optimum dengan sifat kimia dan mikrobiologi terbaik untuk menghasilkan rusip yang aman dan sesuai dengan SNI makanan fermentasi ikan (kecap ikan).

1 komentar: